Sunday, September 2, 2018

KEBENARAN YANG ABADI

KEBENARAN YANG ABADI
BAB 1
PENDAHULUAN
Sebagai manusia, kita selalu dan senantiasa mencari kebenaran, kita mengupayakan segala cara untuk mendapatkan kebenaran itu sendiri, mulai dari hal yang kecil sampai pada hal yang besar. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, walaupun ada banyak kebenaran disekitar kita dan banyak juga faktor-faktor yang menunjukan bahwa kebenaran itu ada, namun manusia masih saja melakukan banyak cara untuk memperoleh kebenaran tersebut, misalnya dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam yang dapat dimengerti dan berusaha untuk membuktikannya. Manusia menghalalkan semua cara untuk mencari kebenaran, menggunakan hal yang masuk akal sampai hal yang tidak masuk akal, namun pada kenyataaannya, ketika manusia menemukan kebenaran itu, dan kebenaran itu tidak sesuai atau bertentangan dengan keinginannya, maka manusia cenderung untuk menolak kebenaran tersebut. Sebenarnya apa arti dari kebenaran itu sendiri, sehingga semua orang berlomba untuk mengetahui dan mendapatkannya? Ketika pertanyaan apa arti kebenaran?” muncul maka, kita sudah memasuki ranah yang dinamakan filsafat. Filsafat secara harfiah berarti cinta akan kebijaksanaan (Knight, 2009, hal.11).
Kebenaran secara Etimologi yaitu Epistemologi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan atau kebenaran sedangkan logos berarti pikiran, kata atau ilmu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengguluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang kebenaran.
Menurut Sudarminta 2002:18 pertanyaan pokoknya adalah “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu?” ia mencoba memjawab secara saksama bahwa epistemologi dan filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya, maka epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evalautif berarti bersifat bernilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya atau memeliki dasar yang dapat di pertanggungjawabkan secara nalar”. Oleh karena itu, epistemologi dapat juga diartikan sebagai teori pengetahuan akan kebenaran, atau cabang filsafat yang mengkaji tentang apa itu benar. Epistemologi berhubungan dengan ketergantungan pengetahuan dan berbagai metode untuk mencapai kebenaran yang dapat diterima dan dibuktikan. Kita dapat mengetahui kebenaran dengan merasakan dan melihat kenyataan yang ada, dengan adanya kenyataan atau hal yang dapat dibuktikan, maka kita dapat mengakui bahwa itu adalah kebenaran. 
BAB II
ISI
Kebenaran adalah apa yang dipresentasikan sesuai dengan realitas atau apa yang disampaikan sesuai dengan kenyataan.
Kebenaran menurut zaman Yunani Kuno
Watloly dalam bukunya yang berjudul Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan epistemologi secara kultural. Membagi para filsuf Yunani kuno dalam tiga kategori yaitu: Zaman sebelum Sokrates, Zaman Sokrates-Plato-Aristoteles dan zaman sesudah Aristoteles.
Zaman sebelum (Pra) Sokrates
A. Thales
Thales adalah seorang filsuf dari dari Miletos, beliau tidak terlalu terkenal, karena namanya tidak pernah disebut sebagai fisluf oleh para sejarawan Herodotos (abad ke-4), namun Aritoteles menyebutnya “filsuf” untuk pertama kalinya pada abad ke-5. Thales menggugat bobot kebenaran dari mitologi sebagai awal pengembangan pemikiran zaman itu. Menurut beliau, manusia dipandang sebagai salah satu bagian saja dari alam atau kosmos, ia bergantung pada alam sebagai prinsip-prinsip pertama dari kehidupan. Ukuran kepastian dan kebenaran menurut Thales “berada di luar hakikat manusia, karena lebih bersifat kepastian dan kebenaran angka (numerikal).
B. Herakleitos
Herakleitos lazim dipandang sebagai, penganut aliran tanpa ketetapan (no permanency), karena menurut beliau, segala sesuatu ada dalam perubahan (Panta Rhei), seperti air mengalir di sungai. Herakleitos dicatat sebagai tokoh penting pemicu lahirnya sejarah pemikiran dan pengetahuan, karena pandangannya yang memacu timbulnya debat ontologis, epistemologis dan aksiologis. Inti perdebatan itu adalah masalah “satu-banyak” (one-many) serta “tetap- berubah” (permanency-change). persoalan ini terus diperdebatkan dan dipandang sebagai persoalan abadi. Namun beliau jugalah yang gigih menekankan penggunaan indera (sense) dalam menentukan bobot kebenaran pengetahuan.
C. Parmenides
Parmenides dan beberapa rekannya berasal dari sebuah aliran yang disebut “aliran Alea” merekalah yang menentang konsep Tuhan atau dewa dalam antropomorfis, karena bagi mereka, Yang Ilahi tidak ada awalnya, Ia adalah kekal, Esa dan Universal. Parmenides sangat mengutamakan akal, ia sangat berpengaruh dalam ontologi dan epistemologi. Yang penting dan menarik dari Parmenides adalah hal yang berkaitan dengan masalah satu dan banyak, berubah atau tetap, absolut atau relatif. Parmenides sangat tegas berbeda dengan Herakleitos. Parmenides berpendapat bahwa segala sesuatu itu satu dan sifatnya adalah tetap dan tidak ada perubahan, kalaupun ada perubahan, maka itu hanyalah sekadar ilusi. Namun dalam hal epistemologis, beliau memberi impilkasi pada epistemologis, misalnya kebenaran itu satu atau banyak? Dan apakah kebenaran itu absolut atau relatif.
D. Kaum Sophis
Melihat aliran-aliran dan para filsuf seperti Thales, Parmenides dan Herakleitos dengan titik pandangnya masing-masing telah mencurahkan perhatiannya pada masalah perubahan dan kemungkinan terjadinya perubahan, namun mereka semua umumnya menerima begitu saja (tanpa bersikap ragu) bahwa manusia bisa mengenal hakikat benda (nature). Walaupun ada di antara mereka yang melangkah lebih jauh beberapa sumber dalam hal memperoleh pengenalan tentang kenyataan atau kebenaran. Hal ini bisa terlihat misalnya dari Herakleitos yang menekankan tentang penggunaan indera (sense), dan Parmenides yang menekankan tentang penggunaan akal.
Keraguan mengenai hal kebenaran atau kenyataan ini baru terjadi kemudian pada abad ke-5 SM. Hal ini dibangkitkan atau dimunculkan oleh para kaum Sophis. Kaum Sophis adalah orang-orang yang selalu menyebut diri mereka kaum bijaksana” (the wise man). merekalah yang melopori munculnya aliran Skeptisisme dan selalu menunjukan sikap mereka yang “anarkis” baik dalam bidang intelektual, moral, maupun sosial-politik. Mereka bersikap skeptis dan sangat meragukan segala kemungkinan untuk menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh benar. Mereka mengajarkan cara orang dapat maju di dunia tanpa pengetahuan yang pasti.
Salah satu tokoh kaum Sophis yang sangat terkenal yaitu Protagoras. Ia dipandang sebagai tokoh yang relativisme dan anarkisme yang cukup andil di dalam pergolakan kultural saat ini, ada pula yang memandangnya sebagai seorang yang humanis. Ia berpendapat bahwa keadaan segala sesuatu persis sama sebagaimana tampak kepada manusia. Kesan mereka satu-satunya adalah kenyataan. Bagi dia, manusia adalah ukuran segala-galanya. Manusia dapat menentukan sesuka hatinya mengenai hal-hal yang benar dan yang tidak benar. Salah satu temannya yang sama-sama kaum Sophis, yaitu Gorgias ia adalah orang yang sangat radikal, berpendapat bahwa “tak satu pun ada”, dan tak seorangpun mengetahuinya. Bagi dia kalaupun ada orang yang mengetahui, mereka tidak dapat mengkomunikasikannya.” Kaum Sophis menegaskan bahwa setiap orang seharusnya “mengukur” hal ihwal menurut hakikat dan kepentingannya sendiri, sebab hanya manusialah ukuran segalanya. Namun banyak orang yang berpendapat bahwa Skeptisisme (keragu-raguan akan objektivitas pengetahuan) yang dimunculkan oleh kaum Sophis inilah yang memunculkan epistemologi, karena merekalah yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai kebenaran.
Zaman Sokrates-Plato- Aristoteles
E. Sokrates
Sokrates (470-399 SM), ia dikenal karena naskah-naskahnya yang lazimnya disebut “dialog-dialog plato” sebagai seorang moralis, ia berusaha mengembangkan sikapnya yang sangat mendasar mengenai hakikat hidup dan kehidupan manusia. Sokrates berusaha meletakan landasan tanggung jawab kultural dalam rangka pengembangan pengetahuan. Namun tanggung jawab kultural ini diabaikan oleh para kaum Sophis dan para pemikir sebelumnya dalam mencari pengetahuan. Padahal dalam hal ini, Sokrates ingin mengajarkan bahwa kebenaran dan kepastian dapat dicapai dan ditemukan melalui metode Maieutike Tekhne (ilmu kebidanan). Maieutike Tekhne adalah suatu metode Dialektike.   Metode Dialektike ini menuntun orang untuk secara operasional berusaha mempermasalakan atau mempersoalkan kenyataan itu terus menerus sampai akhirnya mereka merasa menemukan kepastian yang kokoh. Tingkat kepastian ini tercapai karena orang sudah tidak bisa menanyakan apa-apa lebih lanjut lagi. Di sisi lain Sokrates percaya akan kekuatan intelektual manusia.
Walaupun demikian Sokrates menghubungkan pengetahuan, kebenaran dan kepastian pengetahuan dengan moralitas. Bahkan ia mengatakan bahwa salah satu hal penting dalam kehidupan manusia adalah keutamaan dan hal keutamaan itu adalah pengetahuan (virtue is knowledge). Terlihat di sini bahwa secara implisit Sokrates memandang adanya jaminan kebenaran dan kepastian itu sebagai moralitas, sehingga diakui bahwa pengaruh Sokrates ini telah menumbuhkan berbagai aliran yang menekankan moral dan kejujuran manusia.
F. Plato
Walaupun banyak filsuf yang sudah membahas epistemologi, bahkan sikap skeptis para kaum Sophis dikatakan telah mengawali munculnya epistemologi, namun dikatakan bahwa Plato-lah yang pencetus epistemologi. Plato-lah yang mencoba mengolah masalah-masalah dasar mengenai pengetahuan. Apa itu Pengetahuan? Dimanakah pengetahuan umum ditemukan? Sejauh manakah apa yang biasanya dianggap sebagai pengetahuan benar-benar pengetahuan? Apakah indra memberi pengetahuan? Dapatkah budi memberi pengetahuan? Apakah ada hubungan antara pengetahuan dan keyakinan yang benar? Menurut Plato, pengetahuan tidak sama dengan perasaan semata-mata. Plato menerima pengetahuan dari intelektual. Ia berusaha menjelaskan masalah yang absolut dan realitas, satu dan banyak dalam pengetahuan. Bersamaan dengan ini, ia menunjukan adanya ide absolut sebagai sumber dari segala pengetahuan yang serba berubah (kontingen). Plato menaruh perhatian ke kualitas yang lebih abstrak. Bagi dia kualitas-kualitas abstrak lebih mencerminkan kebenaran atau kenyataan yang mengandung khasiat atau sifat-sifat yang lebih umum (general properties), seperti: kesatuan, keadilan dan kebaikan. Menurut Plato kebenaran atau kenyataan yang mengandung sifat-sifat umum ini mengandung ide-ide abadi yang tidak akan pernah mati. Sifat-sifat tersebut selalu merupakan problem aktual dalam pemikiran manusia.
G. Aristoteles
Aristoteles (384-322), ia adalah orang yang realis (berbeda dengan Plato yang idealis). Aristoteles menekankan adanya prinsip-prinsip pertama dari alam (the first principles of nature), di mana diadakan sistematisasi atas data-data alam, karena seorang realis, maka ia mendasarkan pemikirannya pada pengalaman. Menurut Aristoteles Berdasarkan pengalaman barulah selanjutnya subjek memberikan uraian mendasar mengenai data-data pengalaman itu. Hal ini menunjukan bahwa ajaran Aristoteles yang mendasar mengenai epistemologi mempunyai corak realis. Ia memandang pengetahuan sebagai hubungan timbal balik antara subjek dan objek dengan berbagai implikasinya.
Zaman sesudah Aristoteles
Zaman sesudah Aristoteles sering disebut sebagai zaman keruntuhan ( period of decline). Peranan filsafat Yunani yang Spekulatif digantikan oleh Romawi yang lebih bersifat pragmatik. Zaman ini diwarnai oleh peristiwa penting yaitu masuknya pengaruh Yudaisme dan agama Kristen ke Eropa. Peristiwa ini membawa pengaruh pemikiran alam semitik ke Eropa. Hal ini mengakibatkan terjadilah interaksi antara aliran Hellenisme dan Semitisme, dengan beberapa aliran lain seperti Stoa, yang bersifat antiintelektual, dan pusat perhatiannya adalah pada hidup menurut kodrat, sesuai ketentuan, dan disiplin sebagai pncerminan dari logos (kodrat). Selain itu, ada pula pengaruh dari aliran Epikurnianisme yang bertolakbelakang dengean Stoa. Fokus ajarannya adalah kenikmatan hidup. Corak epistemologi disini adalah bersifat sensasional. Kebenaran dan ketidakbenaran ditentukan oleh rasa enak tidak enak.
BAB III
INTEGRASI KEKRISTENAN
Berbicara tentang kebenaran, kita perlu mengingat lagi pertanyaan Pilatus kepada Yesus, ketika Yesus ditangkap “Apakah kebenaran itu?” Kita juga ingat kembali perkataan Yesus dalam Yohanes 14:6 “Kata Yesus kepadanya : Akulah jalan, kebenaran dan hidup, tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Jadi sebagai orang Kristen seharusnya pertanyaan yang dilontarkan bukan “Apakah kebenaran itu?”, Tetapi “Siapakah kebenaran itu?” Dan tentu kita sudah tahu jawabannya. Yaitu “Yesus adalah Kebenaran. Dalam hal ini pandangan Alkitab menolak pendapat kaum Sophis yang bersikap skeptisisme atau meragukan kebenaran, karena bagi kaum Sophis, segala sesuatu disesuaikan oleh ukuran manusia. Manusia adalah fokusnya, sedangkan menurut Alkitab, kebenaran itu adalah kebenaran Allah dan kebenaran itu adalah Allah sendiri.
Menurut Douglas Groothuis dalam bukunya yang berjudul “Pudarnya Kebenaran,” Ada delapan (8) aspek inti dalam pandangan Alkitab tentang kebenaran, khususnya yang berkenaan dengan kebenaran agung dalam program penebusan Allah.
1. Kebenaran diwahyukan Allah
Kebenaran tidak dikonstruksi atau di temukan oleh individu atau komunitas. Berbagai kepercayaan mungkin merupakan hasil dari temuan manusia tau konstruksi kelompok, tetapi kebenaran berasal dari penyataan Allah yang berpribadi dan bermoral yang membuat diri-Nya diketahui, dengan kata lain, kita dapat mengenal Allah karena Allah yang mewahyukan atau mengenalkan diri-Nya sendiri kepada kita agar kita dapat mengenal Dia. Allah mewahyukan diri-Nya sendiri melalui 2 cara. Yang pertama Allah mewahyukan secara umum melalui ciptaan dan hati nurani, dan yang kedua Allah telah mewahyukan kebenaran akan keselamatan melalui karya-karya-Nya yang dasyat di dalam sejarah, inkarnasi dan ke-66 kitab di dalam Alkitab. Penulis kitab Ibrani menyatakan natur dari wahyu Allah, “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibr. 4:12). Firman merupakan wahyu dari keberadaan yang transenden, kudus, dan komunikatif dan dengan demikian memiliki dinamisme mental yang melampaui psikologi, sosiologi dan politik dari pembacanya. Kebenaran objektif bereksistensi dan bisa diketahui, meskipun firman Allah ini disampaikan disampaikan melalui budaya pada konteks aslinya. Bagi Paulus, Alkitab diilhami secara ilahi, dengan tujuan untuk memberi manfaat,  mengajar, menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.
Jadi seperti pendapat Thales bahwa kebenaran bukan hakikat manusia, karena memang kebenaran itu milik Allah dan memang kebenaran itu adalah Allah, namun perlu kita ingat  bahwa kebenaran bukan bersifat kepastian dan kebenaran angka (numerikal), karena Allah adalah kebenaran itu sendiri dan Allah tidak bisa diukur atau dipastikan dengan apa pun apalagi dengan angka.
2. Kebenaran objektif bereksistensi dan bisa diketahui
Kita sudah mengetahui bahwa Allah telah mewahyukan diri kepada kita mempresaposisikan kebenarann objektif sebagai isi kognitif dari wahyu. Allah merupakan sumber dari kebenaran objektif tentang diri-Nya sendiri dan tentang ciptaan-Nya. Tidak seperti pendapat Plato yang membuat kebenaran menjadi abstrak dan tidak bergantung pada keberadaan dan wahyu Allah. Pandangan Alkitab melihat kebenaran sebagai hal yang bersifat personal karena kebenaran datang dari Allah yang berpribadi, namun kebenaran juga bersifat objektif, dikarenakan natur Allah dan kehendaknya, merupakan tingkat banding tertinggi dari kebenaran. Kebenaran objek tidak bergantung pada perasaan, hasrat dan kepercayaan subjektif suatu ciptaan mana pun.
3. Kebenaran Kristen bersifat mutlak dalam naturnya
Artinya kebenaran Allah tidak berubah-ubah. Kebenaran Allah adalah benar tanpa pengecualian. Kebenaran Allah juga tidak bersifat relatif, dapat berubah atau diperbaiki. Cuaca dapat berubah, akan tetapi Allah tidak dapat berubah. Salah satu ayat Alkitab yang menunjukan kemutlakan kebenaran adalah pernyataan Yesus “ Akulah jalan, kebenaran dan hidup, tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” Memang tidak ada pengecualian dalam klaim ini; hanya ada satu jalan kepada Bapa, yaitu Yesus sendiri. Hal ini tentu menolak pandangan Herakleitos yang mengatakan bahwa tidak ada yang satu dan tetap atau absolut, segala sesuatu bersifat relativ dan selalu berubah seperti air sungai yang mengalir, karena Allah adalah satu walaupun tiga pribadi dan kebenaran Allah selalu bersifat absolut dan mutlak.
4. Kebenaran bersifat universal
Bersifat universal artinya terterapkan di mana saja. Meliputi apapun dan tidak meluputkan apa pun. Pesan injil dan hukum moral Allah tidak dikurung atau dibatasi oleh kondisi-kondisi budaya. Secara konseptual, universalitas berita injil terkunci pada Amant Agung. Yesus mengatakan bahwa Ia memiliki semua kekuasaan di dunia (alam semesta ini). Hal ini tentu mendukung teori Parmenides dan teman-temannya yang mengatakan bahwa “yang Ilahi tidak ada awalnya, artinya tidak ciptakan, dan Ilahi itu Esa, dan universal.
5. Kebenaran Allah berlaku secara kekal dan penting, bukannya trendi atau superfisial
Kebenaran Allah berdasarkan pada keberadaan Allah yang kekal. Kebenaran-Nya tidak mempunya batasan dan tidak butuh pembaharuan. Selain itu, kebenaran Allah adalah kebenaran yang hidup, personal dan dinamis. Kebenaran yang melampaui keremeh-temehan yang berubah-ubah di zaman kita, dan menyentuh keberadaan kita dalam tingkat terdalam, dengan mengikutsertakan kita di dalam drama yang kekal. Kebenaran ini mengubahkan kita, seperti diketahui dengan baik oleh Daud, “Dalam hatiku aku menyimpan janji Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau (Mazmur 119:11). Dalam hal ini, pengaruh Sokrates memandang adanya jaminan kebenaran dan kepastian itu sebagai moralitas, dapat diterima dengan baik, karena diakui bahwa pengaruh Sokrates ini telah menumbuhkan berbagai aliran yang menekankan moral dan kejujuran manusia, dan dari cara dia menggunakan metode Maieutike Tekhne (ilmu kebidanan), baik juga karena Metode Dialektike ini menuntun orang untuk secara operasional berusaha mempermasalakan atau mempersoalkan kenyataan itu terus menerus sampai akhirnya mereka merasa menemukan kepastian yang kokoh. Jadi akan membuat orang-orang terus mencari kebenaran, sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran yang sebenarnya itu, yaitu Yesus Kristus.
6. Kebenaran bersifat eksklusif, spesifik, dan antitesis
Logika antitesis yang tidak bisa ditawar-tawar juga terdapat dibalik ucapan Yesus yang menakutkan, “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang hendak menuju kebinasaan, dan banyak orang masuk melaluinya” (Maitus 7:13). seperti komentar R.J. Rushdoony, “Kebenaran adalah tepat dan persis, dan penyimpangan sedikit saja dari kebenaran berarti menggantikan kebenaran dengan kesalahan.” Oleh karena itu ketepatan dalam kebenaran haruslah menjadi tujuan kita, meskipun itu tidak pernah menjadi pencapaian kita yang sempurna. Kebenaran harus bersifat ekslusif. Seperti seorang pemuda yang berkata kepada seorang pendeta bahwa ia percaya pada 1) Teologi Reformed, 2) Ketidakbersalahan Alkitab dan 3) Reinkarnasi- tanpa melihat kontradiksi antara mempercayai inkarnasi dan Alkitab serta Teologi yang mengajarkan kebangkitan!. karena pemuda tidak berpikir bahwa kebenaran harus bersifat ekslusif (kebangkitan meniadakan reinkarnasi).
7. Kebenaran dipahami secara Kristen, bersifat sistematis dan utuh.
Kebenaran itu satu, seperti Allah itu satu. Semua kebenaran saling berkoherensi sebagai ungkapan dari realitas objektif dan harmonis dari Allah- keberadaan-Nya, pengetahuan-Nya dan ciptaan-Nya. Sesuatu tak bisa benar dalam agama tetapi salah dalam sains (atau sebaliknya), atau benar dalam filsafat tapi salah dalam teologi. Jadi Alkitab adalah standar atau tolok ukur kebenaran, kebenaran diluar Alkitab adalah kesalahan, bukan tergantung pada kenikmatan hidup manusianya dan enak tidak enaknya, seperti pandangan zaman sesudah Aristoeles.
8. Kebenaran Kristen adalah tujuan akhir, bukan alat untuk mencapai tujuan lain.
Kekristenan harus diidamkan dan didapatkan karena nilainya, seperti yang dikatakan Harry Blamires yang dikutib dalam buku “Pudarnya Kebenaran” Mengatakan bahwa:
“Tak ada penyimpangan terhadap iman Kristen yang lebih licik jika dibandingkan dengan memperlakukan iman Kristen hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan duniawi, betapapun terhormatnya tujuan itu pada dirinya sendiri. Iman Kristen penting karena ia benar. Apa yang dicapai kemudian di dalam diri kita atau orang lain, merupakan hal lain dan jika berbicara secara ketat, hanya bersifat sekunder.”
BAB IV
KESIMPULAN
Segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Tidak ada kebenaran dalam diri manusia, manusia hanya menemukan kebenaran, bukan menciptakan. Kebenaran Allah adalah standar dan tolok ukur, jika ada yang melenceng atau tidak sesuai dengan kebenaran Allah yang ada dalam Alkitab maka itu Salah. Dalam hidup, kita mungkin berpikir bahwa ada banyak kebenaran yang ada di sekitar kita, namun perlu kita ingat bahwa manusia hanya menemukan kebenaran, dan kebenaran manusia juga merupakan hasil kesepakatan.
kebenaran manusia yang merupakan hasil kesepakatan, adalah kebenaran yang relatif artinya tidak tepat dan bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kesepakatan manusia, sedangkan kebenaran Allah adalah kebenaran absolut, yakni kebenaran yang tetap dan tidak pernah berubah, serta sebagai standar dari semua kebenaran yang ada di dunia.



DAFTAR PUSTAKA
Groothuis. D., 2010., Pudarnya Kebenaran., Surabaya: Momentum
Knight. G. R., 2009., Filsafat dan Pendidikan: Sebuah Pendahuluan dari Prespektif Kristean., jakarta: Universitas Pelita harapan
Sudarminta. J., 2002., Epistemologi Dasar: Pengantar Dasar Filsafat Pengetahuan., Yogyakarta: Kanisius
Watloly. Aholiab., 2001., Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan epistemologi secara kultural., Yogyakarta: Kanisus
Wells. D.F., 2004., Tiada Tempat bagi Kebenaran., Surabaya:Momentum